Ia mengatakan, vonis Ahok itu menunjukkan Indonesia justru harus merevisi sistem perundang-undangan untuk mendukung demokratisasi, toleransi, dan mencegah kebangkitan kelompok-kelompok fundamentalis agama yang intoleran.
Selain itu, kata Charles, vonis terhadap Ahok juga mengindikasikan sistem demokrasi Indonesia mundur ke belakang. Pasalnya, pemerintah dan perangkat hukum justru bisa didikte oleh kelompok-kelompok intoleran.
"Ahok adalah korban dari kebangkitan kelompok ekstremis dan politik identitas keagamaan. Tapi, vonis itu tidak berdampak pada Ahok saja, melainkan pada masa depan demokrasi, termasuk kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama," tandasnya.
Sebelumnya, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), juga menyatakan keprihatinan dan secara tegas menentang pemberlakuan pasal-pasal penodaan agama.
“Kami menghormati institusi demokrasi Indonesia. AS menentang undang-undang penistaan agama dimana pun, karena membahayakan kebebasan fundamental termasuk kebebasan beragama dan mengemukakan pendapat,” kata Deplu AS Biro Asia Timur dan Pasifik Anna Richey-Allen, seperti dilansir VOA, Selasa siang.
Anna juga menyerukan agar pemerintah Indonesia konsisten menegakkan kebebasan beragama dan berpendapat, yang merupakan aspek penting demokrasi pluralis.
Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Office of the High Commissioner for Human Rights untuk kawasan Asia, juga menyatakan keprihatinannya.
Dewan HAM PBB mendesak pemerintah Indonesia untuk meninjau ulang pasal penodaan agama yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“We are concerned by jail sentence for Jakarta Governor for alleged blasphemy against Islam. We call on Indonesia to review baslphemy law,” tulis OHCHR Asia melalui akun resmi Twitter.
Sementara organisasi nirbala HAM Amnesty International menegaskan, vonis terhadap Ahok tersebut menjadi preseden bagi Indonesia yang sejak era reformasi mendapat predikat sebagai negara toleran dalam keagamaan dan kaum minoritas.
Lembaga yang berbasis di London, Inggris, tersebut menilai Indonesia sebaiknya menghapus pasal-pasal penodaan agama yang bisa dijadikan “pasal karet” untuk memuluskan beragam kepentingan.
Pasal-pasal yang dimaksud ialah Dekrit Presiden Nomor 1/PNPS/1965 dan Pasal 156a KUHP.
Dalam catatan Amnesty International, melalui pasal-pasal itu, terdapat lonjakan jumlah warga negara yang dihukum.
“Sebanyak 10 orang dihukum memakai pasal-pasal itu dalam rentang waktu 1965 sampai 1998. Sementara sepanjang tahun 2005 sampai 2014, terdapat 106 orang yang diadili memakai pasal itu,” demikian catatan Amnesty International.
Suara
0 Response to "ASEAN: Ahok adalah Korban Kebangkitan Ekstremis di Indonesia "
Posting Komentar